Martabat

Sebetulnya saya sudah lama bosan dengan agenda Melayu. Sejak beberapa tahun kebelakangan, maudhu' bicara yang seharusnya murni semakin dipersempit. Meski sejarah merakam betapa agungnya Melayu, zaman dan waktu tidak lah statik.

Dan sungguh, saya merasa malang seandainya terus membiar diri diperangkap oleh kebebalan mempertahankan bangsa atas nama agama. Ia bukan saja sendeng, malah langsung lari menjauh daripada hal-hal akar lain yang harus dibahas.

Tapi entah mengapa, dalam sebuah sesawang lingkar pena yang saya sertai, semacam ada ketakutan yang menyelubung. Manakala agama diinjak, sebilangan teman masih cuba mengaitkannya dengan rasa megah diri yang pernah dinikmati Melayu.

Ia telah berlangsung lama, lebih lama sebelum saya mula menyampah dengan sikap seperti itu. Usaha yang terarah pada ketaksuban mengangkat darjat bangsa langsung melupakan mereka pada ketidakadilan sebuah proses demokratik.

Hey teman-teman ku, sampai bila mahu terus ditipu?

Renung

Kita boleh saja menutur jutaan komentar tentang kebebasan. Dan boleh juga dilanjutkan langsung dengan prinsip-prinsip keadilan. Tapi tentu, ia takkan punyai ma'na yang menyentak nurani. Apatah lagi buat bekal merenung jauh dalam diri.

Anwar Ibrahim tidak begitu. Ia melaluinya dalam payah. Meski romantisme sebegini tidak membantu proses itu berlaku, seharusnya ia diambil guna memperingati nilai yang selama ini menghilang. Dan pasti, kini ia mendesak untuk diupaya.

Cahaya

Beberapa minggu kebelakangan, sejumlah hal kerap bermain dalam benak. Persoalan seputar agama juga beberapa prinsip pokok hidup bernegara sukar sekali mahu lekang. Sejauh ini, belum lagi saya temukan jawapan tuntas buat kesemuanya. Kalau pun ada yang hampir, ia belum cukup memuaskan.

Apapun, pencarian kebenaran itu cukup mengujakan. Dan hampir saja terlupa pesan saya kepada seorang teman yang dicuplik daripada catatan ringkas Tariq Ramadan kala ia mencoret autograf dulu; "May light shines you in your endeavour!"

Tawarikh

Sejarah mungkin saja dokumentasi orang-orang yang menang. Meski ia sebetulnya lebih luas daripada takrif sesempit itu, tidak ramai yang mahu ia digali. Bila ada yang terlihat asing, maka mula lah patriotisme dipersoal, jatidiri dinafi, dan langsung dilabel durhaka pada nusa.

Nah, sekeji itu sebuah aparat yang seharusnya beraksi murni. Hal sebegini pasti terus-terusan berlaku seandainya kita terus layu. Pembodohan seperti ini tidak layak dianuti manusia waras. Ia tidak hanya terselubung niat yang bebal, juga dipengaruhi oleh jiwa rakus untuk menguasai.

Dhamir siapa yang akan mengutus hormat buat rejim sekejam ini?

Buat saya, merdeka -- kata kosong tanpa jiwa. Maaf wahai nusa!

Nota

Sebetulnya ini ruang peribadi. Sejak ia saya mulai, catatan yang terisi hanya ngobrol kosong dengan diri. Meski adakala coretnya berontak, saya selalu nyatakan dalam hati niatnya murni. Dan begitulah ia terus-terusan disenyawakan. Jiwa yang jelak dengan tempang masyarakat juga tulus rasa yang tidak pernah padam.

Tapi, entah apa yang hilang. Layu. Untuk itu; berhenti.