Jumaat, Oktober 15, 2010

Beda

Melalui Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad, Anwar Ibrahim terkesan kagum. Malah, dalam mukadimah pidato bertema kebebasan yang disampaikannya dalam rangka Festival Salihara di Jakarta kelmarin, ia mengungkap betapa linguistic style tokoh terhormat sosio budaya Indonesia, yang juga temannya itu, unik.

Memang, dalam tulisan yang mengisi majalah Tempo pimpinan Mas Goen, ia memuntahkan sejumlah fiksi dan hikayat unggul, selain menyinggung megahnya riwayat disulam hikmat terkait peristiwa semasa untuk diambil ibrahnya. Ia semacam bebas mengalun pena. Bahasanya yang pendek, kadang panjang, lekas tiba kepada makna.

Apapun, yang paling menggugah saya tentunya muatan fakta dan keluasan cakupan isinya. Penulisnya semacam pendeta yang telah menghadam entah berapa jilid kitab filsafat, sejarah, juga agama. Namun, biarlah saya berjujur. Menurut saya, tampilan bahasa Mas Goen itu masih kering. Kurang memikat apatah lagi menggoda.

Berbeda dengan Anwar, saya merasakan bahawa A. Samad Said lebih bergetar. Ekspresinya jauh lebih lunak dan ayat-ayatnya memberikan nikmat tatkala dibaca. Lenggok bahasanya yang mencair, selalu saja mengilham, kalaupun tidak menyentuh. Ia seolah termuat dengan kejujuran. Bila gundah dan resah, tulisannya cocok dengan jiwa.

Begitulah mereka. Baik Mas Goen atau Pak Samad, kedua-duanya merupakan sasterawan dan pengarang yang punyai peringkat keistimewaan dan darjatnya tersendiri. Kepelbagaian itu cukup saya hargai. Sebabnya, ada masa saya membaca dengan tekun. Dan di masa yang lain, pembacaan saya hanya peneman tidur, hehe!

Tiada ulasan: