Saya cuba membayangkan waktu itu; di sebuah belukar tebal, soldadu bertempur sengit. Darah mengucur dari tampang yang gugur tertembak. Pilihannya, lari menjauh atau mati sebagai pahlawan.
Kanang anak Langkau, hero saya sejak di bangku sekolah, memilih yang kedua. Tapi nyawanya tak berakhir di hujung senjata. Meski tubuhnya ditembusi peluru, ia tetap kembali bangun dan melawan.
Kisah sakti itu tak terlupakan. Sejak pertama kali membacanya, ia kekal kukuh dalam ingatan. Dan sosoknya, bersekali dengan motto agi idup agi ngelaban, adalah sihir yang selalu saja menyemangati.
Pahlawan, mungkin lahirnya tanpa rasa pasrah; apa betul, Kanang?
Tiada ulasan:
Catat Ulasan