Ahad, Ogos 20, 2017

Kasih

Eulogi tertunda buat atuk; dengan du'a, kasih dan segenap kenangan.

*****

Pagi itu, ibu menghubungi saya dalam sayu. Ada tangis yang tak terempang. Dengan getar suara yang sayup, khabar dukanya beralih gagang -- atuk barangkali sedang menghabisi sisa-sisa hayat dan saya harus segera pulang.

Demikian lah atuk dalam ingatan saya. Sejak lebih sedekad lalu setelah berkali-kali dioperasi -- jantung, peparu, buah pinggang dll, tampangnya mulai melemah. Ia harus dibantu menguruskan diri dan tentu saja selalu diawasi.

Berbeda benar dengan periode mudanya. Atuk asalnya lulusan Sultan Idris Training College (SITC), yang kemudiannya berkarier sebagai guru sekolah Melayu. Ia lebih dikenal orang sebagai Cikgu Abu -- gelar terhormat zaman itu.

Dalam sesi ngobrol kami yang lazim, atuk selalu mengenang hal ini. Ia pergi berkereta api pacuan arang ke Tanjung Malim, jadi jaguh dalam sukan badminton, selain sedarjah dengan tokoh-tokoh gadang dunia pendidikan Melayu.

Begitu pun, menurut saya, ada sisi lain hidupnya yang lebih mengesankan. Ia bahagian peribadi yang tak tampak, apalagi dihebahkan. Tapi sering dikenang pelbagai kalangan. Saya mendengarnya saban waktu.

Atuk adalah sosok dengan belas kasih yang nir batas. Ia memberi sebanyak-banyaknya tanpa mengharap balas dan pamrih. Manakala dilukai dan dikhianati, ia selalu terkesan ikhlas dan redha dengan masa lalu tanpa banyak soal.

"Sekali berarti," demikian kata Chairil Anwar, "sudah itu mati." Atuk tentu tidak mengerti puisi ini. Tapi seluruh hidupnya memang adalah pengabdian. Ia dipercaya keluarga dalam begitu banyak hal dan dengan sabar, melayaninya.

Tanpa perlu bertele-tele, atuk mengungkapkan perhatian dengan komitmen nyata. Kadang disalah fahami, tapi barangkali itu bahagian yang tak terpisahkan daripada kehidupan. Laras bahasa romantis pun belum tentu akan dihargai.

Tiap ada kesempatan, saya menemaninya di rumah, di pusat dialisis, dan puluhan kali juga, di wad hospital. Kadang saya juga ralat, dalam momen seperti itu, saya gagal mengucapkan apa yang seharusnya dari jiwa yang paling dalam.

Memang begitu agaknya dunia bergulir. Masa lalu hanya dikenang dalam penyesalan. Ketika saatnya tiba, ada begitu banyak hal yang tak terluahkan. Dan kita hanya dapat mengisahkan masa depan dalam du'a yang penuh harap.

Saya barangkali rapat dengan atuk kerana sering berziarah. Rumah kami tak begitu jauh. Tiap ada senggang, saya selalu berlibur ke sana. Mungkin kerana itu lah atuk sering bertanyakan ibu bila saya akan pulang untuk bersamanya.

Permintaan atuk tak sentiasa saya penuhi. Di universiti dulu, saya hanya pulang manakala ada libur panjang. Tapi atuk tahu, saya memang punya alasan. Kasih melampaui jeda waktu serta batas ruang. Tiada yang terpinggirkan.

Tanpa atuk, hari jadi sepi dan malam pun memanjang. Kerinduan bukan lagi sebuah klise tak bermakna. Tapi melewati kesemua ini, kata menjadi tak berguna. Tuhan tentu punya rencana lain yang niscaya. Dan iman, diteguhkan.

"Bila kutitipkan dukaku pada langit," Gus Mus berujar, "pasti lah langit memanggil mendung." Betapa hiba, atuk pergi tatkala saya dan keluarga membacakan pesan qur'ani di pembaringannya. Tanpa keluh, ruh dan raganya terpisah.

Kami sekeluarga menguruskannya dengan takzim. Ketika memercikkan bauan mawar di layuannya, saya merasa kehilangan. Sosok yang pernah mengasihi saya tanpa tara itu, tiba-tiba beralih ke dalam dimensi yang berbeda.

Di pusaranya semalam, pohon mulai merendang dan seperti juga sosoknya dulu, meneduhkan. Saya tak mungkin lagi bisa menyalami kedut di tangannya atau mengucup dahinya yang jerih. Tapi kata pendeta, waktu adalah penawar.

Atuk adalah sebentuk bintang -- shooting star -- yang gemerlap dan indah untuk sementara, tapi akan terus kekal dalam ingatan. Kenangan barangkali bisa berganti. Tapi kasih, abadi. Muga ketemu lagi nanti, atuk. Saya pamit!

Tiada ulasan: