Beda

Melalui Catatan Pinggir-nya Goenawan Mohamad, Anwar Ibrahim terkesan kagum. Malah, dalam mukadimah pidato bertema kebebasan yang disampaikannya dalam rangka Festival Salihara di Jakarta kelmarin, ia mengungkap betapa linguistic style tokoh terhormat sosio budaya Indonesia, yang juga temannya itu, unik.

Memang, dalam tulisan yang mengisi majalah Tempo pimpinan Mas Goen, ia memuntahkan sejumlah fiksi dan hikayat unggul, selain menyinggung megahnya riwayat disulam hikmat terkait peristiwa semasa untuk diambil ibrahnya. Ia semacam bebas mengalun pena. Bahasanya yang pendek, kadang panjang, lekas tiba kepada makna.

Apapun, yang paling menggugah saya tentunya muatan fakta dan keluasan cakupan isinya. Penulisnya semacam pendeta yang telah menghadam entah berapa jilid kitab filsafat, sejarah, juga agama. Namun, biarlah saya berjujur. Menurut saya, tampilan bahasa Mas Goen itu masih kering. Kurang memikat apatah lagi menggoda.

Berbeda dengan Anwar, saya merasakan bahawa A. Samad Said lebih bergetar. Ekspresinya jauh lebih lunak dan ayat-ayatnya memberikan nikmat tatkala dibaca. Lenggok bahasanya yang mencair, selalu saja mengilham, kalaupun tidak menyentuh. Ia seolah termuat dengan kejujuran. Bila gundah dan resah, tulisannya cocok dengan jiwa.

Begitulah mereka. Baik Mas Goen atau Pak Samad, kedua-duanya merupakan sasterawan dan pengarang yang punyai peringkat keistimewaan dan darjatnya tersendiri. Kepelbagaian itu cukup saya hargai. Sebabnya, ada masa saya membaca dengan tekun. Dan di masa yang lain, pembacaan saya hanya peneman tidur, hehe!

Komanwel

India secara rasmi menjadi tuan rumah Sukan Komanwel ke-19 setelah upacara pembukaannya berlangsung meriah di Stadium Jawaharlal Nehru malam tadi. Dalam ulitan persembahan leluhur budayanya yang megah, cakap-cakap seputar ketidaksediaan persiapan India langsung sepi.

Dari kejauhan, saya menontonnya dengan penuh minat dan penghargaan. Malam gemilang pesta sukan kedua terbesar dunia ini cukup bergetar. Muga rasa manusiawi dan persaudaraan yang cuba disenyawa melalui sukan juga turut terkesan sama. Buat semua atlit, selamat beraksi di tanah Delhi!

Jai Hind!

Don Quixote

Don Quixote sebetulnya telah lama saya kenali. Seingat saya, ketika bersekolah, nama kesatria Sepanyol ini pernah beberapa kali muncul dalam sebuah komik bolasepak yang kerap dibeli. Cumanya, ketika itu, saya tidak berminat untuk menerokanya jauh.

Beberapa hari lalu, saya berkunjung ke sebuah toko buku terpakai yang menjual pelbagai koleksi buku dengan harga yang cukup murah. Tidak pun berhajat membeli, cuma sengaja melilau dan membelek setelah kecewa kalah bermain bowling sebelumnya.

Di situ, saya temukan kembali Don Quixote dan Rocinante. Kali ini dalam naskah nipis kanak-kanak yang lebih mudah untuk dimengerti berbanding naskah lengkapnya yang tebal. Langsung ia saya ambil bersama beberapa naskah buku dan majalah lain.

Membacanya, imaginasi lekas teruja. Meski dikisahkan kesatria ini terlalu ideal dalam kepercayaannya, saya cuba memahaminya dengan positif -- tekad terhadap apa yang diimpi dan diimani. Hey, siapa tahu, kita mungkin mampu mencabar kincir angin!

Musik

Entah mengapa, saya bukan anak muda yang menggemari musik. Meski terpaksa memaksa diri mendengarkan lagu-lagu terbaru yang mencipta gegar dalam industri (supaya punyai modal sembang bersama teman-teman), sejujurnya musik tidak pernah ada dalam lingkungan minat dan obsesi.

Namun begitu, ada juga beberapa lagu serasa ranum dalam jiwa. Langsung ia diangkat sebagai lagu terbaik sepanjang zaman (kerana kurang pendedahan dengan lagu-lagu lain daripada pelbagai genre), sekurang-kurangnya, dalam senarai yang saya gariskan. Cukup lah begitu, saya senang sekali.

Mujur juga, abah peminat musik. Selain punyai koleksi serencam senandung, oldies, jazz, sehingga lah edisi terkini tempatan dan luar negeri, ia juga memiliki sejumlah lagu-lagu instrumental yang menyegarkan. Dan mungkin hanya itu saja lah yang mampu saya dengari tanpa runsing kepala.

Apapun, hakikatnya abah lahir beberapa dekad lalu dalam alaf yang telah lama menjauh. Tentu sekali ia lebih terdedah pada genre dan budayawan unggul yang meranumi waktu itu. Lama sebelum saya ada. Lebih parah, hal-hal itu lah yang membentuk naluri musik saya. Tapi buat saya, ia tetap indah.

Maka maaf, kalau yang tersiul bukan Paramore, tapi Sinatra!

Tadabbur

Setelah lebih tiga bulan dijamah sambil dikelek ke pelbagai lokasi, akhirnya saya hampir menyudahkan bacaaan memoir sosok ulung revolusi Cuba, Che Guevara. Memoir yang memuatkan riwayatnya sejak kecil sehingga ia terbunuh tatkala mengepalai gerak gerila di belantara Bolivia ini cukup mengujakan.

Meramahinya, saya merenung banyak perkara sebermula jernihnya sudut pandang sang revolusioner ini semenjak muda terhadap kemanusiaan, sehinggalah tindak politik seputar hal-hal bernegara dalam kepelbagaian ideologi dan kepercayaan. Itu belum lagi dikira daripada kemurnian dan kejujuran sikapnya.

Hal-hal ini melontar saya kepada sejumlah pertanyaan yang mahu saya longgokkan buat teman-teman seusia yang masih larut dalam fana dunia. Juga buat teman-teman yang kononnya sentiasa benar, tapi cetek sekali pembacaannya tentang apa yang dikata. Apatah lagi pengalaman yang diimani dan dipunya.

Tapi biar lah dulu. Mereka takkan mungkin mengerti.

Repek

Saya selalu saja mahu mencoret kata di ruang ini. Setiap ada kesempatan -- setelah jenuh menonton filem, membelek buku, atau lepas makan -- semacam ada yang mengganggu benak. Bukan poyo mahu meluah duka jiwa atau menutur kata cinta, tapi hanya mahu mencatat pandangan sejauh hidup dalam jagat raya yang rencam.

Malah, saya tidak pun pernah peduli cakap-cakap konon catatan di ruang ini sebenarnya hanya mahu menunjuk pandai. Seingat saya, selama hidup, melayan kebodohan tak pernah mendidik saya untuk bertambah bijak. Maka, persetankan saja manusia bermulut cabul dengan tingkah yang bacul. Berpencak kata dengannya, buang masa.

Aduh, hilang ilham lagi. Sampai jumpa kembali, nanti!