Salaam.
Ibu Ainun,
Kita
sebetulnya tak pernah bertemu; dalam mimpi juga realiti. Ibu hanya saya
kenali lewat pembicaraan luhur seorang pria, yang menurut saya, begitu
meluluhkan tapi juga bererti -- B.J. Habibie.
Tentu lah, nama itu tak asing buat
ibu. Ia pria cerdas yang tabah, punya prinsip serta berperibadi tekal.
Begitu pun, tak saya sangka, tampang itu terlihat rapuh bermelankoli
dalam euloginya buat ibu.
Ada bait Inggeris, kurang-lebih begini; "love doesn't need to be perfect," dan berlanjut, "it just needs to be true." Di kejauhan, saya cuma ingin bertanya, apakah hal itu persis dan akan ibu iya-kan?
Barangkali
tak mudah untuk orang lain. Dalam jagat-raya yang menuntut serba
sempurna dan serba menyatu, perbedaan adalah musuh dan kepelbagaian
jarang diraikan. Kita tak punya pilihan.
Lalu, hampir lima dasawarsa yang telah ibu lalui itu mungkin lah sebuah kes terkecuali misterius yang membahagiakan. Belas-kasih ibu, yang dibabadkan pria mantan Pres. RI itu, cukup fenomenal.
Tanpa nada apologetik mengapresiasi dalam luah-rasanya buat ibu, pria setia yang tak bertara itu pun mengungkap suatu hal yang begitu mendalam; "separuh jiwa-ku pergi." Betapa ia merasa kehilangan.
Dan saya pun memperoleh pedoman manusiawi yang tak terlupakan.
Kami menghening cipta untuk-mu.
Hanif Amir
Kuala Lumpur